Buya Maarif Istimewa, Beda, Meski Sama Muhammadiyah dan Islam

Buya Maarif Istimewa, Beda, Meski Sama Muhammadiyah dan Islam Buya Syafii Maarif. Foto: setneg.go.id/ suara.com

(Presiden Joko Widodo saat salat jenazah Buya di Masjid Gede Kauman, Yogyakarta (Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden/detik.com)

Perhatian Buya pada penanganan Covid memang luar biasa. Beliau bahkan kirim surat ke Presiden Jokowi. Yang isinya tersiar luas di medsos. Yakni, soal kematian para dokter yang menangani Covid-19.

”Negara bisa oleng,” tulis beliau ke Presiden Jokowi.

Saya pun menghubungi dua orang kemarin. Yang tahu banyak tentang Prof Dr . Yang lulusan IKIP Yogyakarta, Ohio University, dan Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Dua orang itu: Budi S. Tanuwibowo dan dokter Jagaddhito Probokusumo.

Pak Budi adalah ketua Konghucu Indonesia. Bung Jagaddhito adalah calon spesialis jantung dan pembuluh darah, yang kini lagi menjalani residen di RS Sardjito Yogyakarta. Ia putra mantan rektor ITS, seorang ahli teknik sipil, Prof Dr Ir Priyo Suprobo.

Tulisan dokter Universitas Airlangga itu bisa dibaca di bagian lain Disway hari ini. Betapa Buya memberikan perhatian besar kepada anak muda.

Sedang Budi pertama mengenal Buya saat sama-sama ke Filipina. Yakni, ketika menghadiri dialog antar-iman di sana.

”Setiap makan pagi, saya satu meja dengan beliau. Waktu itu, sekitar 20 tahun lalu, makan saya banyak. Itu membawa kesan mendalam buat beliau,” katanya. ”Setiap kali bertemu lagi, beliau selalu mengingat selera makan saya itu,” tambahnya.

Suatu ketika, ujar Budi, Buya ke kelenteng. Minta dijelaskan apa itu popwe. Yakni, kocokan potongan bambu yang diberi nomor itu. Beliau pun mencobanya.

Lalu, giliran Budi ke forum Muhammadiyah. Waktu itu Buya lagi bicara dengan sekelompok warga Muhammadiyah. ”Melihat saya datang, beliau minta saya duduk di meja itu. Pembicaraan sebetulnya bersifat intern, tapi beliau mempersilakan saya ikut mendengar,” ujar Budi. ”Kan Pak Budi orang kita sendiri. Tidak apa-apa,” ujar Buya seperti ditirukan Budi.

Terakhir Budi diundang lagi ke Yogyakarta. Ketua umum Muhammadiyah-nya sudah Pak Haedar. ”Saat makan siang, kami berdiskusi banyak hal mengenai Islam dan Konghucu. Kami sama-sama meyakini bahwa kalau ada keadilan tak akan ada persoalan yang mengganggu persatuan. Kalau ada keadilan, takkan ada persoalan kemiskinan,” ujar Budi.

Lain hari Budi menemui Buya. Tujuannya: minta Buya bersedia diangkat menjadi anggota kehormatan Konghucu. ”Tanpa pikir panjang, beliau langsung setuju,” ujar Budi.

Terakhir Budi menemui Buya menjelang Covid lalu. Ia berharap agar Buya mau menjadi pembicara dialog Islam-Konghucu. Beliau bersedia, tapi tidak mungkin lagi. Buya sudah tidak bisa lagi pergi jauh.

Sebenarnya masih ada yang ingin ditunjukkan Budi ke Buya: kini pola makan Budi sudah berubah drastis. Berat badannya sudah turun banyak. "Tinggal" 103 kilogram.

”Mudah-mudahan di surga sana beliau masih bisa melihat perubahan makan saya,” ujar Budi yang dulu bersama saya mengurus organisasi barongsai Indonesia.

Buya, saya mohon maaf. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO